Jumat, 03 Februari 2012

Tersimpan sangat rapi!

Ditengah kepusingan mengerjakan proposal malam ini, untuk kesekian kalinya aku mendengar isakan tangis itu. Suara dentuman benda tumpul ditembok, dan jeritan-jeritan kecil yang saling sahut menyahut. Yang pertama kali aku ingat saat ini adalah mimpiku dimalam itu. Dia berlari ke arahku dengan wajah sembab akibat menangis semalam dan sebilah pisah di tangan kanannya, seketika aku terjatuh, menutup mata, dan berada dalam keadaan pasrah kemanapun arah pisau itu akan bermuara. Namun ketika kubuka mata, aku terbelalak, pisau itu sudah tertancap jelas, diperutnya. Ia menusuk dirinya didepan mataku, terjatuh dan tak sadarkan diri. Dengan panik aku berusaha menyadarkannya, memanggil namanya, membopongnya dan mencari pertolongan. Seorang pengendara motor yang baik dengan ikhlas menawarkan jasa mengantarkan aku yang telah penuh peluh membopongnya. Setiba di ruang instalasi rawat darurat , petugas kesehatan berhamburan ke arah kami untuk segera memberikan pertolongan kepadanya yang telah tak sadarkan diri. Setelah Ia dan petugas berpakaian putih dan masker diwajahnya itu masuk di salah satu ruang pengobatan yang disekat oleh tirai, sembari menunggu dengan panik, aku terbangun...

Semenjak mimpi itu, hidupku menjadi tidak tenang setiap terdengar isakan tangis walaupun sayup-sayup dari ruang sebelah kamar unguku ini. Ini tidak menyenangkan. Karena walaupun aku takut dan bingung, tunggulah beberapa jam kemudian, jeritan dan tangisan itu akan berubah menjadi candaan dan tawa riang melihat kekonyolan komedian di televisi. Ini tidak menyenangkan, sungguh tidak menyenangkan.

Malam ini ketika aku sudah mengumpukan tekad untuk mendedikasikan sisa malam mengerjakan revisi proposal yang sejak seminggu kemaren belum selesai aku kerjakan, suasana tidak menyenangkan itu muncul kembali. Pertama hanya terdengar perlahan, bahkan awalnya kukira itu hanya reaksi akibat menonton acara lawakan ditelevisi, tapi ternyata itu suara isak tangis yang tertahan dan lebih terdengar seperti suara orang mengeram. Suasana kembali hening. Tak berapa saat yang terdengar suara dentuman dari tembok kamarku, seperti suara pertemuan dengan benda tumpul, kuduga itu adalah suara peraduan tembok dengan tengkorak kepala, bukan kepala ayam, tapi kepala manusia. Suara dentumannya tidak beraturan, tidak sakit, tapi untuk menghilangkan sakit. Hal yang telah lama aku tinggalkan ketika terseok dalam liku kehidupan. Kini terdengar lagi, walaupun tidak jelas dari kamar seberang. Ia sedang tersudut oleh suatu masalah. Semakin lama dentumannya terdengar seperti sebuah lagu putus asa. 

Awalnya aku ingin bersikap seperti biasanya, acuh, paling nanti ketawa lagi, pikirku dalam hati. Namun malam ini aku gelisah, tangisannya semakin keras, begitu juga dengan erangannya, tidak hanya terdengar seperti sedang bersedih, tapi kesakitan. Bukan karena kekerasan, sakit yang hanya Ia yang rasakan. Aku tidak tahan, kucoba untuk mengirimkan pesan pendek, semoga pesan ini tersampaikan, mengingat sudah berapa lama sejak aku tidak menghubunginya melalui telepon genggam. Ketakutanku benar, pesanku tidak tersampaikan, entah karena nomornya telah diganti atau karena signal yang rusak akibat hujan malam ini. Kubuka facebook, dan berusaha mengirimkan message untuknya, dia menggunakan BB, paling tidak notifnya akan langsung masuk. Setelah beberapa saat aku tunggu, tidak ada tanggapan. Yang terdengar suara pintu terbuka, dan langkah kakinya menuju kamar mandi. 

Kali ini aku kumpulkan tekad, aku terlalu jengah dengan mimpiku. Mendengar suara air deras mengucur dari keran bocor di kamar mandi, dan suara tangisan yang bahkan dapat membuat tetangga terbangun dan ketakukan, aku harus bertindak. Walaupun dengan ragu, dan sedikit takut, aku menghampiri pintu kamar mandi, perlahan aku ketuk pintunya, memanggil namanya, dan akhirnya membujuknya keluar. Tidak ada tanggapan, yang ada suara tangisan itu semakin mengeras, sekarang aku tidak hanya terganggu, tapi bertambah khawatir dan iba. Terus terang aku tidak tega.

Tidak berapa lama, teman lelaki yang menjadi pasangannya selama ini keluar dari kamar dan menghampiri, wajahnya juga sembab. Dia sama sedih dan terpuruk seperti Ia. Jenuh terpancar jelas diwajahnya, dan semakin jelas dengan penuturannya.
"tolong kamu bilangin ke dia yah, aku sudah capek bilangin ke dia"
"haaah, bilang gimana?"
"masalah kuliahnya"
Aku tertegun, hanya mengangguk.
Dia berusaha keras membuka pintu kamar mandi yang terkunci itu, dengan gertakan dan tendangan. Iyah tendangan, terdengar keras, dan meresahkan. Aku takut.

Aku seperti tersayat, aku kembali ke kamarku yang penuh dengan barang tergantung dan berserakan dilantai. Aku sedih, sedih sampai hanya bisa berkata sambil berbisik dan mengadu dengan seseorang yang telah menemani hariku dua tahun terakhir ini. Aku mengadu, juga untuk kesekian kalinya. Namun kali ini tidak mengadukan kekesalan dan keresahanku, tapi kesedihanku. Aku mengadukan ketidakbergunaanku. Ketidakberdayaaku. 

Malam ini aku ingin sekali memeluknya, seperti yang Ia lakukan untuk menenangkanku ketika aku harus berpisah dengan kekasihku dulu. Malam ini aku merasakan kesedihannya, Ia terpuruk. Selama ini aku fikir Ia tidak memikirkannya, Ia fikirkan semua itu, hingga membuat air matanya tumpah seperti saat ini. Ia hanya tidak tahu harus kemana, dimana, dan bagaimana untuk mengawalinya kembali. Jarak yang sudah terbentang selama setahun lebih ini membuatnya enggan untuk meminta kembali, meminta kami kembali. 

Mungkin menunggunya untuk memulai hubungan ini kembali, sedikit egois dengan kondisinya seperti sekarang. Ia sedang terpuruk dengan pilihannya, maaf, mungkin terlihat sedikit depresi di mataku. Dan itu membuatku sedih. Ternyata, aku masih sangat menyayanginya, masih tersimpan sangat rapi di dalam sini. Teramat rapi hingga aku lupa dimana meletakknya, tidak terpakai. Tapi sangat disayangkan kalau terus berlanjut seperti ini. Aku belum menunaikan tugasku sebagai seorang teman yang baik, sebagai seorang sahabat yang baik. Aku ingin mengembalikan fungsi itu.

Aku ingin mengembalikan sahabatku, dan mengembalikanku menjadi sahabat untuknya....
Susah, aku tahu ini susah. Tapi tidakkah ada sedikit nyali di diri ini...
Semoga aku juga tidak terlalu egois untuk memulainya....

Mari berteman kembali :)

4 komentar:

  1. mungkin perasaanmu saat ini sama seperti yang aku rasakan dulu. Ketika aku menamparnya dengan ribuan kata-kataku. Tamparan yang sungguh bukan untuk menyakiti, apalagi memaksanya untuk mengeluarkan air mata. Rasa sakit yang dialaminya saat itu, hanyalah sebuah pemaparan dari aku, penyadaran bahwa hidup yang kita jalani tak seindah cinta pertama, atau kenangan saat ternama.

    mengapa harus bersahabat kembali?
    bukankah itu berarti persahabatan kita pernah mati?
    sunguh tidak sahabatku, sedari dulu hingga saat ini kita tetap dalam satu lingkaran
    mungkin saja salah satu dari kita sedang menikmati terbang bebas di udara luar sana…
    jika sudah lelah, lingkaran ini pasti memeluk dengan erat untuk memperbaiki segala urat…

    yang harus ia sadari saat ini, pintu persahabatan kita masih terbuka lebar….
    selebar saat ia menghempaskan daun pintu nya dulu… ☺

    salam dari ku untuknya

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaahh i... mungkin la bilang menjadi sahabat kembali karena sejauh ini la mrasa la udah gak jadi shabat yang baik..
      hiiiikks...
      iyaah, kayaknya dia masih capek...
      makasiihh i... :)

      Hapus
  2. kita tak kan pernah tahu apa yang ia pikirkan, kita tak kan pernah tahu apa yang ia maksud dengan perbuatannya. Mungkin baginya jalan yang sekarang ia sudah tempuh sudah benar. Namun tuntutan dari luar yang membuat hidupnya nggak tenang. Sayangnya dia lebih memilih untuk berlari ketimbang menyelesaikannya. Mungkin hanya satu yang bisa kita lakukan. Memastikan bahwa kita dan dia tetap akan baik baik saja, walau apapun yang terjadi padanya. Karna biar bagaimanapun kita semua sodara kan.... ^_^

    La: nggak usah terlalu bersedih karna nggak bisa jadi sahabat yang baik. Memangnya seperti apakah definisi sahabat yang baik itu?? Terkadang hanya dengan diam sahabat selalu bisa mengetahui apa yang sahabatnya butuhkan, bahkan bisa menjadi tameng. Yang terpenting itu disini *nunjukdada bukan bagaimana orang melihat dari luar. Keep spirit, pasti ada waktunya untuk ia akhirnya mencari jalan terangnya berdasarkan hati nuraninya..... ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaahh bo... semoga Ia menemukan yang terbaik yaah...
      yang penting disini *nunjuk dada juga*...
      makasiihh maakk.. ketjuph :*

      Hapus